Beberapa tahun lalu, ketika tsunami menghujam Aceh, banyak pakar geologi mengatakan, gempa bumi dengan kekuatan 8,5 SR itu, merupakan pergeseran lempengan bumi yang tengah bergerak menuju titik keseimbangan. Disaat yang sama, para futurolog mencoba menggugat asumsi itu, bahwa hingga hari ini, tak satu pun manusia yang pernah menemukan persis dimana batas titik horizon terakhir bumi. Jika asumsi teoritik bahwa bumi ini ibarat sebuah bola, maka kutub bumi adalah perpotongan antara poros bumi dan permukaan bumi. Dalam kaitannya dengan asumsi teoritik ini, maka para ilmuan pun masih gamang soal dimana sebenarnya titik yang bisa dikatakan sebagai patokan keseimbangan. Dengan kekaburan epistemologi sains soal keseimbangan kosmologi ini, maka rasanya belum absah bagi para ilmuan untuk mengatakan, bahwa bencana demi bencana tersebut merupakan peristiwa alam murni yang mesti disikapi secara saintik-positivistik. Apalagi argumen teoritik itu untuk melegalkan tumpah-ruahnya manusia yang mati ditelan ganas tsunami. Lagi-lagi, asumsi sains ini menjadi rontok, setelah kita dicekokoki pertanyaan menohok, bahwa apakah hukum alam (fisik) merupakan suatu sebab mutlak dari kejadian bencana alam tersebut? Demikian juga pertanyaan serupa bahwa, sebelum adanya hukum ruang dan waktu (hukum fisika), maka hukum apakah yang berlaku? Di sini kita menemukan jawaban, bahwa hukum-hukum fisika itu berlaku disaat terciptanya ruang dan waktu, dan ketika belum terciptanya ruang dan waktu, maka yang berlaku adalah hukum-hukum metafisika. Dari kejadian musibah ini, membuktikan bahwa argumentasi metafisika atau teokosmik adalah hukum yang tak tertandingkan. Dan disinilah tempat manusia kembali berbenah kesadaran metafisiknya (spiritual). Tanpa kita sadari, bencana-bencana yang terjadi, mulai dari tsunami Aceh hingga Jepang saat ini, menelanjangi otoritas keilmuan kita, bahwa superiritas pengetahuan, konstruksi bangunan dengan segenap tetek bengek supra teknologi, tak berdaya ketika dikulum amukan gulungan dasyhat gelombang setinggi empat meter itu. Dari sinilah, kita secara batiniah, menyadari, bahwa betapa manusia begitu tak berdaya ketika berhadapan dengan otoritas Tuhan dan alam ciptaan-Nya. Dengan demikian, secara bertenaga kita perlu mengatakan, bahwa di balik kecerdasan manusia soal hukum kosmik itu, ternyata hukum metafisik telah berkhutbah secara gamblang, bahwa teknologi super canggi belum bisa mengungkapkan apalagi memperkirakan, kapan musibah itu terjadi dan seberapa besar musiba itu akan menelan nyawa manusia. Jepang dengan kapasitas supra teknologinya, ternyata dalam waktu singkat dibuat tak berdaya. Bangunan-bangunan megah anti gempa yang disombongkan pemerintahan Jepang, ludes disapu rata oleh keganasan tsunami. Sampai pada titik ini, kita sebagai manusia mestinya sadar, bahwa kesombongan dan arogansi keilmuan, hanya akan membuat kita lupa akan kuasa Tuhan. Musibah Jepang yang mengibahkan itu, mestinya menjadi titik awal kesadaran spiritual manusia secara kolektif di seluru pelosok bumi ini, bahwa kesombongan, kebencian, kebringasan saatnya terlepas dari sikap manusia yang selama ini lalai dan latah. Gempa dan tsunami Jepang, tidak semata persitiwa alam (fisik) an sich, akan tetapi, merupakan peristiwa teokosmik yang mesti digali hikmahnya lebih jauh untuk pertaubatan kolektif manusia.
0 comments:
Post a Comment